Aku
muak. Aku akuntan bergaji tinggi tapi tak pernah tahu harus aku habiskan kemana
pundi-pundi hartaku itu. Pulang ku terlalu larut. Paginya? jangan tanya.
Mungkin aku bangun lebih pagi dibandingkan dengan ayam jago. Aku hampir setiap
hari berhasil menggagalkan tugas ayam jago yang diamanatkan Tuhan untuk
berkokok membangunkan manusia-manusia malas di pagi hari. Sempat terbesit juga
dalam pikiran ku untuk mengambil pekerjaan ayam jago ini setiap pagi. Toh, aku bisa selalu bangun lebih pagi.
Aku sanggup berkokok setiap hari. Membangunkan manusia-manusia malas untuk
berangkat mencari isi perut. Setelah semuanya bangun, aku tinggal tidur saja
sampai besok paginya lagi. Hanya sesekali mengais tanah mencari cacing jika aku
lapar. Tapi takdirnya, akulah manusia-manusia malas itu.
Dasiku
selalu terpasang rapi. Sesekali dasi ini kerasukan setan karena acapkali
mencekik leher kurusku. Tetangga-tetangga ku menaruh hormat padaku. Entah
hormat atau sebuah jilatan. Mungkin karena pakaianku yang rapi ini. Mereka pikir
aku orang kaya. Aku memang kaya. Tapi sebatang kara. Kalau saja mereka tahu isi
apartemenku, mungkin mereka paham tingkat depresiku. Depresi karena sebatang
kara. Aku kaya, tapi aku tak punya teman.
Aku
pernah jatuh cinta, tapi cuma sementara. Aku jatuh cinta pada wanita yang
salah. Wanita dengan gairah seks yang cukup tinggi. Marah hanya karena tak bisa
orgasme bersama. Hanya menambah depresi saja. Aku juga pernah punya sahabat.
Tapi percuma saja punya sahabat seperti dia. Sahabatku yang satu dan satu-satunya
ini ternyata mampu bertahan untuk orgasme di waktu yang bersamaan dengan
orgasmenya pacarku. Enyah sajalah mereka berdua. Dan selebihnya, hanya rekan
kantor yang tak lebih manusia dengan lidah yang sangat panjang yang terus
menjilat apapun yang akan membuat mereka naik pangkat. Termasuk menjilat
kemaluan bos mereka sendiri. Menjijikkan. Mungkin harusnya aku berteman dengan
iblis saja.
Aku
cukup ahli di bidang pekerjaanku. Semua pekerjaan dapat aku selesaikan dengan
sangat baik. Cepat pula. Tapi aku tak pintar menjilat. Bukan tak pintar sih, tak berminat lebih tepatnya.
Rekan-rekanku lebih jago dalam urusan menjilat. Hasilnya, bos lebih percaya
memberiku pekerjaan yang sangat banyak, tetapi lebih percaya mengajak rekan
seberang kubikelku untuk diajak makan siang bersama. Mungkin selepas itu mereka
bersenggama. Tapi penderitaanku tak berlangsung lama. Sekitar 10 tahun. Sampai
sore seminggu yang lalu, ketika aku pulang kantor lebih cepat, aku bertemu
dengan seorang gadis yang lucu.
Aku
keluar kantor dengan muka bahagia, seperti meninggalkan neraka dan menuju surga.
Padahal aku tau besok aku akan masuk neraka lagi. Dasi yang ku longgarkan dari
kerah kemejaku menari ditiup angin sore seakan dia paham betul dengan kondisi
majikannya. Rasa-rasanya ada karpet merah yang dibentangkan di trotoar
sepanjang jalan. Sampai aku melihat ada gadis kecil berumur di kisaran 7-10
tahun yang terduduk menangis, membasahi karpet merahku yang klise.
“Kenapa
kau, dik?”
Gadis
itu hanya melongo melihat tampang preman bahagia ini. Kemudian menangis.
Ingusnya meleleh dari hidung peseknya. Mungkin gadis kecil ini sudah menangis
sekitar 1 jam lebih. Aku bisa liat itu dari wajah putihnya yang sudah mulai
memerah. Mungkin dia menangis sejadi-jadinya. Dengan kondisi hidupku, tak perlu aku bertanya mengapa orang-orang di jalanan tak ada yang peduli dengan gadis kecil ini.
Tanpa pikir panjang, ku jadikan saja dia teman.
“nama
kamu siapa, adik kecil?” Tanyaku lembut.
“Rara”, gadis itu menjawab singkat. Masih susah dia
berbicara karena tersedu.
“orang
tuamu dimana? Kenapa kamu menangis?”
“Rara
diusilin anak jalanan. Orang tua rara belum pulang kantor. Tapi rara tau jalan
pulang kok, Om”
Gadis
itu cukup lugu. Gampang sekali aku terenyuh. Ku bawa saja dia, pikirku dalam
hati. Setelah ku bujuk, akhirnya dia mau ikut denganku. Mungkin pikir gadis
itu, lebih baik hidup dengan penculik, dibandingkan menangis sendirian di
jalan. Paling tidak, penculik tetap memberinya makan. Ku bawa dia ke warung es
krim langgananku. Es krim terenak di kota itu. Tempat aku menyatakan cinta pada
si wanita gila seks dulu.
Putus
asaku dalam kondisi hidupku mungkin jadi faktor utama kenapa aku begitu cepat
jatuh cinta pada gadis kecil ini. Tapi ini cinta ke seorang adik. Aku bukan
pengidap pedophilia. Nalarku bekerja
pendek dengan berpikir bahwa gadis kecil tak mungkin menkhianati pertemanan.
Dia tak berambisi busuk seperti orang-orang dewasa pada umumnya. Hasilnya, aku
sangat menikmati sore itu. Sore yang begitu indah, dimana aku bisa menggandeng
tangan seorang gadis kecil lugu yang tak berhenti membuat aku tertawa lepas
karena keluguannya. Tak ikhlas rasanya ketika ku antar dia sampai di depan blok
rumahnya. Tapi tak apalah, kami sudah berjanji untuk bertemu setiap hari,
menuntaskan es krim setiap sorenya.
Dan
begitulah, sore-sore ku dilewati dengan terlalu bahagia. Makan es krim,
dongeng, main ke pantai melihat senja, ku belikan dia boneka, ditanyanya
hal-hal polos, ku bawa dia naik komedi putar, dipegangnya tanganku karena dia
ketakutan, lalu ku gendong dia di bahuku sampai ke depan blok rumahnya. Itu
terasa begitu bahagia, begitu cepat. Aku pun sampai tak mengerti dengan dunia
ini. Mengapa ketika bahagia datang, semuanya terasa begitu singkat.
Sampai
sore kemarin dia akhirnya berbicara tidak selayaknya gadis kecil yang berumur
7-10 tahun. Kami duduk di kursi taman yang menghadap ke jalan raya. Walaupun
pemandangannya hanya melihat mobil-mobil yang melaju kencang, tapi kursi itu
cukup nyaman. Ada pohon rindang melindunginya. Ditengah kedamaian kursi taman
itu dia menangis, akhirnya mengadu kalau dia tidak punya teman. Dia sedih
karena orangtuanya pun selalu tak ada waktu untuknya. Aku cukup paham dengan
keadaan itu jika dialami oleh seorang gadis kecil. Aku saja yang sudah dewasa
masih bisa merasa depresi. Itu kedua kalinya aku lihat dia menangis tersedu.
Sekilas hanya seperti terisak saja. Tapi ada kesedihan yang cukup mendalam
disana. Ku rangkul dia dalam pelukanku. Hanya bermaksud menenangkan. Sampai
akhirnya dia dengan tersedu berkata,
“Om,
aku mau om jadi teman aku selamanya. Teman yang sebenarnya teman. Om mau kan jadi
teman aku?”
Aku
melihat keputusasaan yang sangat dalam di nada suaranya. Anggukanku pun
bergerak begitu saja, tanda setujuku atas permintaannya. Tapi dia malah
mengajakku bermain.
Dia
langsung keluar memaksa dari rangkulanku, tersenyum bahagia, sambil terus
mundur hingga mendekati jalan raya. Mobil melaju sangat kencang disana. Tak ada
tolerir. Instingku bekerja. Aku panik. Aku segera berlari berusaha menangkap
gadis kecil itu. Menyelamatkannya. Kejadiannya begitu cepat sampai aku kira itu
hanya mimpi.
Suara
knalpot mobil sport yang melaju cepat
dan berisik itu menyadarkan lamunanku. Aku termenung kebingungan sambil
menggenggam tangan gadis kecil yang masih duduk di sampingku. Dia bingung
melihatku. Aku melihat ke belakang untuk memastikan pohon rindang yang memberi
kedamaian dalam kursi taman itu. Terlalu jauh aku terbawa lamunan. Gadis
kecilku itu pun ikut heran.
Senja
sudah datang. Dalam keheranan kami berdua, gadis kecil itu menarik tanganku
pergi. Kami pergi meninggalkan kerumunan orang yang aku tak sempat melihatnya.
Padahal orang-orang sedang mengerumui mayatku.
“terima
kasih ya Om, sudah benar-benar menjadi temanku sekarang. Aku pulang dulu ya Om,
besok kita main lagi”
Aku
terdiam. Tak pernah sadar kalau sebenarnya tak ada manusia normal yang bisa
melihat gadis kecil itu dari sejak awal. Sama seperti tak ada manusia normal
yang bisa melihatku sekarang. Aku bingung harus pulang kemana.
Jangan
tanya aku dimana hari ini. Mungkin dibelakangmu.
***
welcome back ^^
BalasHapuslama tak bersua di tulisan maya.. tiba2 kau hadir merubah segalanya menjadi lebih indah :D
tulis terus ruuuu (y)