Kamis, 05 Maret 2015

Law of Deminishing Return

Pernah belajar ekonomi?
Jangan takut. Belajar ekonomi tak membuatmu menjadi seorang kapitalis.
Lagian apa salahnya sih jadi kapitalis?
Kau begitu memuja Amerika, atau paling tidak aktor dan aktrisnya, tapi kau tak ingin disebut kapitalis. Lebih kasar mana jika kau kupanggil kapitalis, atau babu setianya kapitalis?
Lebih baik jadi kapitalislah.

Tapi saya tak berminat membahas kapitalisme disini. Saya mau belajar ekonomi.
Kalau kau tak mau belajar ekonomi karena takut kapitalis, kembali ke paragraf 1.

Sewaktu masih kuliah ekonomi dulu, saya sempat diajarkan tentang konsep "Law of Deminishing Return". Sebuah konsep yang mengajarkan tentang nilai guna sebuah barang yang akan menurun jika terus dipakai. Pada konsep ini dicontohkan segelas air yang terasa begitu tinggi nilai gunanya namun akan terus menurun sampai di gelas ke-8 dan seterusnya. Ah mungkin di gelas ke-4 saja sudah menurun nilai gunanya. Entah terpikir oleh orang-orang atau tidak, sebenarnya ini bukanlah konsep ekonomi. Tapi ini konsep kehidupan. Ini suatu konsep yang universal.

Bagi saya, ini adalah konsep ilmiah tentang bosan. Menurut KBBI, bosan artinya sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu sering. Tapi kalau menurut KBBI Tandingan, atau biasa disebut dengan Kamus Besar Bahasa Ismiraldi, bosan itu ya Law of Deminishing Return. Nanti sbentar lagi akan saya masukkan arti kata baru tentang Law of Deminishing Return ke KBBI tandingan. Tunggu saja.

Pertanyaannya adalah apakah nilai guna ini hanya menurun atau benar-benar hilang?

Akan saya jawab dengan 1 variabel. Yaitu variabel oksigen. Mungkin oksigen adalah satu-satunya hal yang Law of Deminishing Return tidak berlaku didalamnya. Bagaimana mungkin saya bisa bosan dengan oksigen. Tapi apa saya pernah ingat dengan oksigen? saya tidak pernah ingat akan oksigen yang telah berjasa mengisi alveolus saya sehingga saya tak pernah merasa sesak. Saya sangat membutuhkan oksigen. Sama layaknya dengan saya membutuhkan air minum. Saya haus, tapi berani-beraninya saya bilang bosan dengan air minum. Hanya karena saya telah meminumnya berkali-kali. Padahal nanti akan saya minum lagi. Kalau saya bosan dengan air minum, harusnya saya tidak pernah minum lagi sejak saya ucapkan kata bosan itu sampai saya mati. Terkadang saya tidak tahu apa yang sebenarnya jiwa dan raga saya butuhkan. Tak tahu diri.

Jadi sebenarnya pantaskah ada konsep semacam Law of Deminishing Return di muka bumi ini? Bukankah kebutuhan akan suatu barang itu sebenarnya akan terus muncul dalam jangka panjang dan tak terbatas waktu? Janganlah kau berpikir dalam jangka pendek. Janganlah kau habiskan 8 gelas air minum dalam waktu 10 menit. Berpikirlah visioner.

Maka, menurut KBBI tandingan, konsep Law of Deminishing Return ialah sebuah konsep yang menyatakan kalau manusia tak tahu diri.

Kalau cinta? Berlakukah Law of Deminishing Return terhadapnya?
Ya jelas TIDAK-lah.

***

"Om, mau ga jadi teman aku?"

Aku muak. Aku akuntan bergaji tinggi tapi tak pernah tahu harus aku habiskan kemana pundi-pundi hartaku itu. Pulang ku terlalu larut. Paginya? jangan tanya. Mungkin aku bangun lebih pagi dibandingkan dengan ayam jago. Aku hampir setiap hari berhasil menggagalkan tugas ayam jago yang diamanatkan Tuhan untuk berkokok membangunkan manusia-manusia malas di pagi hari. Sempat terbesit juga dalam pikiran ku untuk mengambil pekerjaan ayam jago ini setiap pagi. Toh, aku bisa selalu bangun lebih pagi. Aku sanggup berkokok setiap hari. Membangunkan manusia-manusia malas untuk berangkat mencari isi perut. Setelah semuanya bangun, aku tinggal tidur saja sampai besok paginya lagi. Hanya sesekali mengais tanah mencari cacing jika aku lapar. Tapi takdirnya, akulah manusia-manusia malas itu.
Dasiku selalu terpasang rapi. Sesekali dasi ini kerasukan setan karena acapkali mencekik leher kurusku. Tetangga-tetangga ku menaruh hormat padaku. Entah hormat atau sebuah jilatan. Mungkin karena pakaianku yang rapi ini. Mereka pikir aku orang kaya. Aku memang kaya. Tapi sebatang kara. Kalau saja mereka tahu isi apartemenku, mungkin mereka paham tingkat depresiku. Depresi karena sebatang kara. Aku kaya, tapi aku tak punya teman.
Aku pernah jatuh cinta, tapi cuma sementara. Aku jatuh cinta pada wanita yang salah. Wanita dengan gairah seks yang cukup tinggi. Marah hanya karena tak bisa orgasme bersama. Hanya menambah depresi saja. Aku juga pernah punya sahabat. Tapi percuma saja punya sahabat seperti dia. Sahabatku yang satu dan satu-satunya ini ternyata mampu bertahan untuk orgasme di waktu yang bersamaan dengan orgasmenya pacarku. Enyah sajalah mereka berdua. Dan selebihnya, hanya rekan kantor yang tak lebih manusia dengan lidah yang sangat panjang yang terus menjilat apapun yang akan membuat mereka naik pangkat. Termasuk menjilat kemaluan bos mereka sendiri. Menjijikkan. Mungkin harusnya aku berteman dengan iblis saja.
Aku cukup ahli di bidang pekerjaanku. Semua pekerjaan dapat aku selesaikan dengan sangat baik. Cepat pula. Tapi aku tak pintar menjilat. Bukan tak pintar sih, tak berminat lebih tepatnya. Rekan-rekanku lebih jago dalam urusan menjilat. Hasilnya, bos lebih percaya memberiku pekerjaan yang sangat banyak, tetapi lebih percaya mengajak rekan seberang kubikelku untuk diajak makan siang bersama. Mungkin selepas itu mereka bersenggama. Tapi penderitaanku tak berlangsung lama. Sekitar 10 tahun. Sampai sore seminggu yang lalu, ketika aku pulang kantor lebih cepat, aku bertemu dengan seorang gadis yang lucu.
Aku keluar kantor dengan muka bahagia, seperti meninggalkan neraka dan menuju surga. Padahal aku tau besok aku akan masuk neraka lagi. Dasi yang ku longgarkan dari kerah kemejaku menari ditiup angin sore seakan dia paham betul dengan kondisi majikannya. Rasa-rasanya ada karpet merah yang dibentangkan di trotoar sepanjang jalan. Sampai aku melihat ada gadis kecil berumur di kisaran 7-10 tahun yang terduduk menangis, membasahi karpet merahku yang klise.
“Kenapa kau, dik?”
Gadis itu hanya melongo melihat tampang preman bahagia ini. Kemudian menangis. Ingusnya meleleh dari hidung peseknya. Mungkin gadis kecil ini sudah menangis sekitar 1 jam lebih. Aku bisa liat itu dari wajah putihnya yang sudah mulai memerah. Mungkin dia menangis sejadi-jadinya. Dengan kondisi hidupku, tak perlu aku bertanya mengapa orang-orang di jalanan tak ada yang peduli dengan gadis kecil ini. Tanpa pikir panjang, ku jadikan saja dia teman.
“nama kamu siapa, adik kecil?” Tanyaku lembut.
“Rara”,  gadis itu menjawab singkat. Masih susah dia berbicara karena tersedu.
“orang tuamu dimana? Kenapa kamu menangis?”
“Rara diusilin anak jalanan. Orang tua rara belum pulang kantor. Tapi rara tau jalan pulang kok, Om”
Gadis itu cukup lugu. Gampang sekali aku terenyuh. Ku bawa saja dia, pikirku dalam hati. Setelah ku bujuk, akhirnya dia mau ikut denganku. Mungkin pikir gadis itu, lebih baik hidup dengan penculik, dibandingkan menangis sendirian di jalan. Paling tidak, penculik tetap memberinya makan. Ku bawa dia ke warung es krim langgananku. Es krim terenak di kota itu. Tempat aku menyatakan cinta pada si wanita gila seks dulu.
Putus asaku dalam kondisi hidupku mungkin jadi faktor utama kenapa aku begitu cepat jatuh cinta pada gadis kecil ini. Tapi ini cinta ke seorang adik. Aku bukan pengidap pedophilia. Nalarku bekerja pendek dengan berpikir bahwa gadis kecil tak mungkin menkhianati pertemanan. Dia tak berambisi busuk seperti orang-orang dewasa pada umumnya. Hasilnya, aku sangat menikmati sore itu. Sore yang begitu indah, dimana aku bisa menggandeng tangan seorang gadis kecil lugu yang tak berhenti membuat aku tertawa lepas karena keluguannya. Tak ikhlas rasanya ketika ku antar dia sampai di depan blok rumahnya. Tapi tak apalah, kami sudah berjanji untuk bertemu setiap hari, menuntaskan es krim setiap sorenya.
Dan begitulah, sore-sore ku dilewati dengan terlalu bahagia. Makan es krim, dongeng, main ke pantai melihat senja, ku belikan dia boneka, ditanyanya hal-hal polos, ku bawa dia naik komedi putar, dipegangnya tanganku karena dia ketakutan, lalu ku gendong dia di bahuku sampai ke depan blok rumahnya. Itu terasa begitu bahagia, begitu cepat. Aku pun sampai tak mengerti dengan dunia ini. Mengapa ketika bahagia datang, semuanya terasa begitu singkat.
Sampai sore kemarin dia akhirnya berbicara tidak selayaknya gadis kecil yang berumur 7-10 tahun. Kami duduk di kursi taman yang menghadap ke jalan raya. Walaupun pemandangannya hanya melihat mobil-mobil yang melaju kencang, tapi kursi itu cukup nyaman. Ada pohon rindang melindunginya. Ditengah kedamaian kursi taman itu dia menangis, akhirnya mengadu kalau dia tidak punya teman. Dia sedih karena orangtuanya pun selalu tak ada waktu untuknya. Aku cukup paham dengan keadaan itu jika dialami oleh seorang gadis kecil. Aku saja yang sudah dewasa masih bisa merasa depresi. Itu kedua kalinya aku lihat dia menangis tersedu. Sekilas hanya seperti terisak saja. Tapi ada kesedihan yang cukup mendalam disana. Ku rangkul dia dalam pelukanku. Hanya bermaksud menenangkan. Sampai akhirnya dia dengan tersedu berkata,
“Om, aku mau om jadi teman aku selamanya. Teman yang sebenarnya teman. Om mau kan jadi teman aku?”
Aku melihat keputusasaan yang sangat dalam di nada suaranya. Anggukanku pun bergerak begitu saja, tanda setujuku atas permintaannya. Tapi dia malah mengajakku bermain.
Dia langsung keluar memaksa dari rangkulanku, tersenyum bahagia, sambil terus mundur hingga mendekati jalan raya. Mobil melaju sangat kencang disana. Tak ada tolerir. Instingku bekerja. Aku panik. Aku segera berlari berusaha menangkap gadis kecil itu. Menyelamatkannya. Kejadiannya begitu cepat sampai aku kira itu hanya mimpi.
Suara knalpot mobil sport yang melaju cepat dan berisik itu menyadarkan lamunanku. Aku termenung kebingungan sambil menggenggam tangan gadis kecil yang masih duduk di sampingku. Dia bingung melihatku. Aku melihat ke belakang untuk memastikan pohon rindang yang memberi kedamaian dalam kursi taman itu. Terlalu jauh aku terbawa lamunan. Gadis kecilku itu pun ikut heran.
Senja sudah datang. Dalam keheranan kami berdua, gadis kecil itu menarik tanganku pergi. Kami pergi meninggalkan kerumunan orang yang aku tak sempat melihatnya. Padahal orang-orang sedang mengerumui mayatku.
“terima kasih ya Om, sudah benar-benar menjadi temanku sekarang. Aku pulang dulu ya Om, besok kita main lagi”
Aku terdiam. Tak pernah sadar kalau sebenarnya tak ada manusia normal yang bisa melihat gadis kecil itu dari sejak awal. Sama seperti tak ada manusia normal yang bisa melihatku sekarang. Aku bingung harus pulang kemana.


Jangan tanya aku dimana hari ini. Mungkin dibelakangmu.

*** 

Rabu, 04 Maret 2015

Kalah mulut dengan gambar.

Teman,
sini saya bagikan sedikit wejangan, motivasi dan inspirasi,
tak tahu menahu juga ini masuk dalam kategori apa. Saya juga menyadur.
Yang jelas masuk dalam kategori quotes hari ini.

Teman, ingatlah,
Kepercayaan bagaikan sebuah kertas. Sekali lecek, itu tidak akan pernah sempurna lagi.

gimana? Percaya tidak? kurang greget ya?



Yasudah, bagaimana kalau saya bagikan ini saja.

Sumber: google

gimana? lebih percaya kan? Coba kamu share saja gambar tadi di media sosial.
Jauh lebih banyak yang nge-love dibandingkan kamu ketik sendiri.


***

Ah ingin rasanya bilang ke Pak Mario Teguh, kalau acara Golden Ways tak perlu dilanjutkan lagi.
Cukup buat laman internet saja, jadikan semua nasihat Pak Mario ke dalam gambar seperti tadi.
Atau mungkin Golden Ways diganti saja bentuk acaranya. Dengan durasi 1 jam hanya menampilkan motivasi-motivasi Pak Mario dalam bentuk gambar. Seperti slideshow.
Lebih banyak yang percaya, daripada kata-kata yang keluar dari ucapan bibir.

Sudah, saya mau makan martabak lagi.
Tidak percaya?
Nanti saya buatkan gambar kata-katanya.

"Entri Baru"

Salam,

Pernah nostalgia?
Beta pernah. Barusan saja. Beta bernostalgia dengan diari dunia maya ini.
Hasilnya tidak begitu buruk. Beta rombak diari dunia maya ini. Beta mengubur seluruh entri yang pernah Beta posting. Beta simpan dalam kotak harta karun, dengan kunci kombinasi. Beta beritahu kombinasi angkanya. "2-0-0-1". Jangan tanya itu angka apa. Hanya 2 orang yang mungkin tahu. Termasuk Beta. Tapi, Beta tidak akan beritahu dimana Beta lempar kotak harta karun itu. Lagian, tidak penting. Cuma berisi entri bodoh.

Mungkin sebagian juga pernah membacanya kan. Dulu mungkin begitu mewah, tapi sekarang terlihat bodoh. Tapi Beta bangga. Beta bangga pernah bodoh. Setidaknya seperti itulah hakikat manusia. Pernah bodoh. Sekarang Beta lebih pintar. Beta lebih pintar menutupi kebodohan Beta.

Beta ingin kembali menulis diari dunia maya ini. Tapi tidak dengan entri bodoh. Paling tidak Beta menulis entri pintar yang membodohi sebagian pembacanya. Beta juga tidak tahu tujuannya apa. Mungkin persiapan untuk isi-isi dari kotak harta karun berikutnya yang akan Beta buang. Atau kalau Beta mati, paling tidak Beta mati dalam keadaan tidak gaptek. Entri ini buktinya.

Ini sebuah pengakuan. Beta tipe manusia yang mudah kagum dengan tulisan-tulisan bagus. Mudah kagum dengan sastra. Selayaknya anak kecil yang suka meniru, Beta pun suka bermimpi jadi penulis. Tapi tulisan Beta bodoh. Jelek. Tak ada isinya. Ehm maaf, Beta sedang merendah untuk meroket.

Atas pertimbangan itu, Beta ingin menulis lagi. Entah berapa kali Beta mengucapkan kalimat barusan. Terhitung sejak diari dunia maya ini ada, mungkin ada ratusan ucapan. Ya seperti itulah susahnya mengamalkan konsistensi. Entah tidak ada bakat, atau memang tidak ada libido menulis di diri Beta. Kasihan Beta.

Buktinya, Beta sendiri tidak tahu apa yang akan Beta tulis di entri-entri berikutnya. Berikut faktanya.

  1. Beta tidak pintar mengomentari politik. Politik terlalu pintar menipu Beta. Beta selalu kalah kalau main catur.
  2. Beta juga tidak pintar agama. Tidak alim. Beta takut terbawa ucapan-ucapan yang mengatasnamakan agama. Bukan Tuhan yang menipu Beta. Tuhan tak sejahat itu. Sebagian hamba-Nya yang menipu. Beta juga hamba-Nya kok. 
  3. Beta juga tidak pintar menulis cerita pendek. Cerita hidup Beta lebih seru dan menegangkan. Makanya Beta sering tegang. Tapi cerita Beta tidak bisa dikategorikan menjadi cerita pendek. Mungkin bisa dijadikan komik saja. Tapi Beta cuma bisa gambar dua gunung. Dengan matahari di tengah-tengahnya. Supaya tidak salah prasangka. Menggambar itu saja sudah susah payah.
  4. Beta juga tidak pintar menulis puisi. Pernah Beta menulis puisi untuk perempuan pujaannya. Tapi Beta urung untuk membacakannya di depan si perempuan yang mungkin menginjak kodok tersebut. Puisinya kalah indah dari diri perempuan pujaan itu sendiri.


***

Kasihan Beta. Saya juga turut kasihan. Eh ini bukan tentang saya ya. Ini bukan Beta-nya "saya" dalam bahasa Ambon. Ini sosok yang bernama Beta. Saya lagi bercerita tentang si Beta. Makanya pakai huruf kapital. Saya juga tidak tahu dia siapa. Kalau ada yang kenal dan bertemu Beta, sampaikan salam saya buat Beta.

Salam.