Sekitar
lebih dari 10 tahun yang lalu, masa-masa dimana saya sangat mencintai yang
namanya peribahasa. Saya sampai punya dua buku kumpulan peribahasa. Yang
satunya "Kumpulan 500 Peribahasa Lengkap" dan yang satunya lagi
"1000 Peribahasa Indonesia Lengkap". Setelah saya teliti, kedua buku
ini tidak memuat peribahasa sesuai dengan jumlah yang tertera di judulnya.
Malah banyak peribahasa yang double, diulang sampai 3 kali di
halaman-halaman berikutnya. Bisa saja menipu anak SD.
Salah
satu peribahasa yang cukup terkenal ialah "karena nila setitik, rusak susu
sebelanga". Saya ndak ada niat menggeneralisir, tapi ini lumayan
mencerminkan mental manusia. Terserah dimana manusia itu berada. Lihat saja
sekitarmu. Kalau saya salah, anggap saja saya sedang skeptis. Hehehe.
Mungkin
kita diajarkan sejak kecil tentang peribahasa ini, atau mungkin pada saat
pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu SD dulu, kita didoktrin untuk mengamalkan
setiap nilai peribahasa yang diajarkan, termasuk peribahasa ini. Bagi saya,
peribahasa ini menebarkan kebencian--sewaktu menulis ini, raut muka saya
datar-datar saja kok. Bagaimana mungkin kita begitu membenci seseorang hanya
karena ada setitik kesalahan --atau bisa jadi kesalahan subjektif menurut
pandangan hasil pemikiran dengkul pribadi. Mengapa kita begitu mengingat satu
kesalahan yang dibuat dibandingkan dengan beberapa kebaikan yang telah
diciptakan? Mengapa kita begitu mengingat arogansi Cristiano Ronaldo
dibandingkan dengan aliran darah yang cukup rutin didonorkannya sampai doi ndak
mau men-tatto tubuhnya sama sekali? Mengapa kita lebih senang dengan gosip
artis terkena narkoba dibandingkan artis yang melahirkan seorang anak? Kalau
untuk yang ini, saya ndak dua-duanya sih. Hehehe.
Manusia
kan bukan susu, toh? Kalau susu saya terkena nila setitik, ya pasti ndak saya
minum. Tapi kalau manusia bersalah, ingatkan dan maafkan. Buang racunnya,
selamatkan manusianya. Coba lihat sisi baiknya, pasti ada. Kamu saja yang tidak
tahu. Coba bayangkan kalau Tuhan mengamalkan nilai peribahasa ini, habislah
kita semua sebagai hamba-Nya.
Zaman
sekarang peribahasa ini sudah mulai bertranformasi. Menjadi seperti yang di
judul. "Karena nila setitik, rusak susu disebelahnya". Dan
kalau perlu saya tambahkan "Karena nila setitik yang sengaja
dilemparkan, rusaklah seluruh susu di sebelah kanan maupun kiri". Seperti tentang FPI, nila anarkis beberapa oknumnya
selalu merusak susu jiwa sosial mereka. Kalau Pak Ahok jangan disinggung lagi. Wes
biyasa. Nila amarah dan tutur katanya selalu berusaha dilempar untuk
menutupi susu integritas dan kejujurannnya. Sama seperti saat masa-masa pemilu
presiden dulu. Nila dan susu masing-masing capres saling berperang. Sampai
terkena susu-susu partai disebelahnya.
Mungkin
peribahasa ini perlu direvisi. Atau dibuat versi beta-nya. Mental kita
biarkan saja begini. Ngudud dululah biar kalem. Serius amat bacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Budayakan Komen yaaa :D